Langsung ke konten utama

Perbedaan UU No. 11 Tahun 2008 (UU ITE) dengan UU No. 19 Tahun 2016 (Perubahan UU ITE)

Perbedaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
Oleh: Bagaskoro Rizky Pradana, S.H.

Pada tahun 2016, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU 19/2016”). UU 19/2016 tersebut dikeluarkan pemerintah untuk melengkapi kekurangan yang ada pada pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU 11/2008”) yang cenderung multitafsir dan tumpang tindih dengan peraturan hukum lain. Adapun perubahan yang terdapat dalam UU 19/2016 sebagai berikut:


Pasal
Perubahan
Pasal 1
Penambahan 1 angka, yaitu definisi mengenai “Penyelenggara Sistem
Elektronik”
Pasal 26
Penambahan 3 ayat, yaitu adanya kewajiban Penyelenggara Sistem Elektronik dan ketentuan mengenai tata cara penghapusan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik diatur dalam peraturan pemerintah (hak untuk dilupakan).
Pasal 31
Perubahan pada ayat (2) dan ayat (3) terkait intersepsi dan penyadapan.
Pasal 40
Penambahan 2 ayat, perubahan pada ayat (6), dan Penjelasan ayat (1) terkait
kewajiban Pemerintah untuk melakukan pencegahan penyebarluasan dan
penggunaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang dilarang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan kewenangan Pemerintah untuk melakukan pemutusan akses.
Pasal 43
Perubahan pada ayat (2), ayat (3), ayat (5), ayat (6), ayat (7), dan ayat (8), serta penambahan satu ayat. Pasal ini mengenai kewenangan Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS), serta pelaksanaan tugas dan wewenangnya.
Pasal 45
Perubahan terkait dengan ketentuan pidana terhadap pelanggaran dalam Pasal 27 ayat (3) mengenai penghinaan atau pencemaran nama baik, dan penegasan tindak pidana penghinaan atau pencemaran nama baik
merupakan delik aduan.
Pasal 45A dan Pasal 45B
Penambahan 2 Pasal, yaitu Pasal 45A dan Pasal 45B. Penambahan pasal-pasal ini terkait teknis penulisan dalam UU.
Penjelasan Pasal 5
Perubahan dalam Penjelasan sebagai implikasi dari Putusan Mahkamah
Konstitusi.
Penjelasan Pasal 27
Perubahan dalam Penjelasan yang memasukkan definisi dari kata/frasa
“mendistribusikan”, “mentransmisikan”, dan frasa “membuat dapat diakses”, serta menegaskan bahwa ketentuan mengenai pencemaran nama baik dan/atau fitnah, serta pemerasan dan/atau pengancaman
mengacu pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Prosedur Penerbitan HGB di atas HPL

Pengertian HGB dan HPL Hak Pengelolaan (" HPL ") adalah hak menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya, sebagaimana didefinisikan oleh Pasal 1 angka (2) PP No. 40/1996. Hak Guna Bangunan (" HGB ") adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri selama jangka waktu tertentu, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) UUPA. HGB diberikan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun. Sesudah jangka waktu HGB dan perpanjangannya berakhir, kepada bekas pemegang hak dapat diberikan pembaharuan HGB di atas tanah yang sama, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 PP No. 40/1996. Prosedur Penerbitan HGB di atas HPL Permohonan HGB di atas HPL,  pemohon harus membuktikan data yuridis dan data fisik sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Pemohon HGB di a

Prosedur Permohonan Pernyataan Pailit

Prosedur Permohonan Pernyataan Pailit Oleh: Bagaskoro Rizky Pradana, S.H. Prosedur Permohonan Pernyataan Pailit Prosedur permohonal pailit dalam Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan Kepailitan (“ UU 37/2004 ”) adalah sebagai berikut: 1.                   Permohonan pernyataan pailit diajukan kepada Ketua Pengadilan melalui Panitera . (Pasal 6 ayat 2). 2.                   Panitera menyampaikan permohonan pernyataan pailit kepada Ketua Pengadilan paling lambat 2 (dua) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan. Dalam jangka waktu 3 (tiga) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan, pengadilan menetapkan hari sidang. 3.                   Sidang pemeriksaan dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan (pasal 6). 4.                   Pengadilan wajib memanggil Debitor jika permohonan pailit diajukan oleh Kreditor, Kejaksaan, Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal a